What If, Zoe Kazan dan Rumitnya Relationship

Muhammad Husein Heikal
3 min readMay 9, 2020
Empire

What If, apa yang menyebabkan saya mengunduh film ini? Tak lain karena kehadiran Zoe Kazan di dalamnya. Saya melihat akting Zoe Kazan pertama kali di film The Ballad of Buster Scruggs (2018). Saya terpana. Sejak saat itulah saya menggemarinya. Meski tentunya aktris favorit saya bukan hanya Zoe Kazan.

Saya seharusnya tak perlu kaget melihat ke-fresh-an Zoe Kazan sebagai aktris muda yang mempunyai keahlian akting sangat memukau yang ditampilkannya di film yang saya tonton kali ini: What If yang berjudul asli The F Word (2014). Mungkin saya terlalu berlebihan memuji apa yang saya favoritkan, dan tentu saja itu membosankan. Sama seperti mendengarkan cerita seorang teman wanita yang bercerita perihal hubungannya dengan seorang lelaki yang menurutnya tampan dan romantis. Tapi begitulah adanya.

Film What If ini sudah saya unduh sejak tahun 2018. Berkali-kali saya mencoba menontonnya, bahkan sudah menekan tombol play. Tapi selalu saja ada gangguan yang menghinggapi yang selalu berujung gagal. Hingga hari ini, di awal Mei yang cerah ini, saya mampu menjauhi berbagai gangguan yang mengelilingi saya. Ya saya berhasil menontonnya. Untuk satu jam pertama. Sisanya? Sengaja saya sisakan untuk malam hari. Entah mengapa, bagi saya menonton di malam hari lebih mengasyikkan. Mungkin karena lebih tenang dan terhindar dari hingar-bingar kesibukan.

What If, sejujurnya adalah cermin ketakutan saya saat ini. Ah ya, tentu saja soal relationship. Soal hubungan manusia. Soal cinta. Yes! What If pada intinya mengisahkan bahwa cinta memang memerlukan kehadiran. Omong kosong dengan hubungan jarak jauh. Persetan dengan LDR!

Zoe Kazan yang berperan sebagai Chantry, memiliki seorang kekasih bernama Ben yang sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Mereka tinggal bersama. Pada sebuah pesta, Chantry pergi sendiri dan bertemu dengan Wallace yang diperankan oleh Daniel Radcliffe — say hallo to Harry Potter! Wallace baru saja patah hati dengan kekasih bermuka pucatnya, seorang dokter. Itu adalah peristiwa terburuk dalam hidup Wallace, sekaligus peristiwa terbaik.

Pertemuan di pesta rupanya turut mempertemukan Allan (teman entah saudara Wallace) dan Nicole. Seketika itu mereka menjadi pasangan yang menggila, tak menghiraukan kehadiran tamu lainnya. Tak lama kemudian Allan dan Nicole menikah. Tapi itu tak cukup menarik dibahas.

Wallace semakin kebingungan terhadap hubungan “pertemanannya” dengan Chantry. Pertemuan mereka semakin intens, bahkan Chantry mengundang Wallace ke rumahnya bertemu dengan Ben dan adiknya. Awalnya saya menduga akan terjadi sesuatu yang menegangkan. Tapi ternyata yang terjadi justru kelucuan-kelucuan yang membuat saya sakit perut.

Dalam kebingungannya Wallace disuguhi Allan dengan lima saran konyol. Wallace menolak semua saran Allan, termasuk saran terakhir yang paling menyaktikan, “Move on!” Situasi semakin berubah ketika Ben mesti pindah ke Dublin untuk urusan pekerjaannya di PBB. Its so cool — orang muda itu sudah kerja di PBB.

Chantry kesepian. Wallace tambah bingung, karena ternyata adik Chantry menyukai dirinya, dan bahkan memaksa berhubungan seks. Wallace menolak. Ia teringat Chantry.

Sebuah film yang kompleks bukan? Namun jangan salah sangka. Ketika menontonnya saya tak menemui kesulitan sedikit pun untuk memahami. Berterimakasihlah pada sang sutradara yang cerdas, Michael Dowse.

Wallace orang yang baik. Tipe lelaki yang menghargai wanita. Bukan tipe lelaki yang hanya menginginkan seks. Lihatnya ketika mereka berdua dikerjai oleh Allan dan Nicole di pantai. Wallace dan Chantry sama-sama telanjang. Allan dan Nicole melarikan baju mereka dan mengilang pergi. Malam itu dalam keadaan telanjang Wallace dan Chantry (its so funny!) tidur dalam selimut yang sama, without sex.

What If adalah film yang cerdas, mengungkap kisah percintaan yang terpendam, namun begitu sulit diungkapkan tersebab oleh keadaaan yang tidak mendukung. Ditambah lagi keahlian akting para pemainnya yang luar biasa, membuat film ini mengalir deras seperti air sungai Tigris. Disepanjang aliran itulah saya tertawa-tawa sendiri menontonnya. Menyaksikan kekonyolan para orang muda ditengah gelora cinta yang semakin waktu semakin terungkap.

Penyuguhan yang ringan, dengan durasi tidak sampai dua jam, What If merupakan film yang layak tonton bagi siapapun yang pernah memendam perasaan atau terjebak dalam masalah relationship. Oh, bukankah itu kita semua? Mungkin saja. Bukankah yang bercinta yang menderita?

Ah, saya mulai ngawur.

--

--