Sepak Terjang Diplomasi Turki

Muhammad Husein Heikal
5 min readSep 19, 2022
Sumber gambar: kumparan.com

Sepak terjang diplomasi Turki terbilang getol. Dalam perseteruan Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung selama enam bulan, Turki tampil sebagai mediator yang berupaya melunakkan tensi kedua negara tersebut. Kemesraan Presiden Erdogan dengan Presiden Putin memang menimbulkan suatu chemistry tersendiri. Bahkan sebuah rekaman menunjukkan momen kebesaran hati Putin berdiri menunggui kedatangan timpalannya itu.

Pada pertengahan Agustus lalu Erdogan bertolak ke Lviv dalam upaya terbarunya meredakan ketegangan. Erdogan mengadakan pertemuan trilateral dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres disana. Agenda utama pertemuan adalah upaya untuk memperluas cakupan kesepakatan biji-bijian disamping memantau proses ekspor biji-bijian dari pelabuhan Laut Hitam.
Sebelumnya di awal bulan Agustus, Erdogan telah melakukan pembicaraan dengan Putin di Sochi, Rusia.

Pertemuan demi pertemuan yang dilakukan Erdogan tidak lain bertujuan untuk memperluas upaya mediasi Turki untuk mengakhiri konflik. Kepiawaian diplomasi dan kelihaian negoisasi Erdogan patut dipujikan. Ia bekerja keras dengan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Sekalipun kondisi domestik negaranya juga sedang mengalami guncangan ekonomi dengan inflasi yang meroket hingga 79 persen.

Tak pelak upaya diplomasi Erdogan menuai pujian dari berbagai pihak. Presiden Indonesia Joko Widodo sekalipun, yang telah melawat dan melakukan pendekatan ke Rusia dan Ukraina mengatakan kesulitan membuka ruang dialog antara kedua pemimpin negara tersebut. Pertanyaan terhadap keberhasilan misi perdamaian yang diemban, terlebih dalam kapasitas Indonesia sebagai presidensi G20 akan menghadapi tantangan yang tidak mudah.

Metode diplomasi yang dilakukan Turki seharusnya dapat ditiru oleh Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). Sebagai pemimpin de facto UE, posisi Jerman saat ini berada di ujung tanduk. Ini merupakan akibat dari sanksi yang diterapkannya kepada Rusia, yang justru menghantam balik perekonomian negaranya. Ketergantungan migas dari Rusia mencapai 65 persen dari total impor Jerman, dan kini turun menjadi 44 persen setelah Rusia mengurangi pasokan. Alhasil harga BBM di Jerman meroket 104 persen dibanding Juli 2021.

Upaya mediasi Turki mendapat tantangan dari tindakan AS yang berusaha untuk memperpanjang konflik dengan mempersenjatai Ukraina. Lewat satu serangan pekan lalu, tujuh jet Rusia luluhlantak di pangkalan udara Krimea. Ini merupakan kerugian yang belum pernah dialami Rusia sejak Perang Dunia II. Ukraina sendiri diketahui tidak memiliki senjata yang memiliki kemampuan jarak seperti itu untuk menghantam Krimea.
Disaat Turki berupaya memediasi Rusia-Ukraina, antar dua negara yang bertikai, AS justru muncul memberi senjata. Layaknya kebakaran, disaat Turki berusaha memadamkan api, AS justru menyiram lebih banyak minyak. Tindakan AS seringkali tidak terprediksi. Pada Juli silam, AS menuduh Iran berencana mengirimkan ratusan drone ke Rusia untuk membantu perangnya. Iran menepis tuduhan tersebut dan menyebutnya tidak berdasar. Memang bukan Amerika namanya kalau tidak penuh sensasi dan kejutan.

Relasi Turki-Israel

Sepak terjang diplomasi Turki tak hanya berlangsung terhadap Rusia-Ukraina. Pada bulan lalu Turki dan Israel mengumumkan normalisasi penuh hubungan mereka. Pengumuman resmi telah dirilis oleh kantor PM Israel Yair Lapid. Tentunya selalu ada keuntungan dibalik setiap kesepakatan. Warming-up normalisasi ini dimulai dengan rencana pemulihan rute penerbangan langsung oleh maskapai Israel. Ini akan membawa lebih banyak wisatawan ke resor Turki.

Turki dan Israel menyepakati pemulihan hubungan setelah melalui satu dekade hubungan yang kompleks. Turki berharap dapat menghidupkan kembali proyek pipa gas alam Mediterania timur. Kesepakatan inti dalam normalisasi ialah berupa pengembalian duta besar dan konsul ke Tel Aviv dan Ankara untuk pertama kalinya dalam empat tahun.

Satu minggu setelah normalisasi, Erdogan menyambut kedatangan timpalannya Presiden Palestina Mahmud Abbas. Ini cukup mengejutkan. Sebab terhadap Sudan, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain yang sebelumnya menormalisasi hubungan dengan Israel, Palestina menyebutnya sebagai pengkhianatan. Namun beda cerita terhadap Turki. Palestina bahkan mengunjungi Turki. Kunjungan pemimpin Palestina itu dalam satu sisi dapat dilihat sebagai upaya Turki untuk menunjukkan bahwa mereka mendukung sekutu lama bahkan ketika telah memperbaiki hubungan dengan saingan.

Turki mengatakan bahwa dialog terbuka dengan Israel akan lebih membantu Turki dalam membela hak-hak Palestina. Turki menegaskan bahwa normalisasi ini tidak mengartikan bahwa Turki akan membuat konsesi di Palestina. Intinya, di hadapan Palestina, Turki membuat kesaksian bahwa hubungan diplomatik dengan Israel tidak mengartikan pergeseran prioritas mereka.

Normalisasi dengan Israel sejatinya merupakan misi bertahap Abraham Accord yang diinisiasi AS. Misi ini akan mengumpulkan, satu demi satu negara untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Maka sampai hari ini tercatat sudah empat negara, yaitu Turki, Sudan, UEA dan Bahrain menyusul apa yang dilakukan Mesir (1979) dan Yordania (1994) menormalisasi hubungan dengan Israel. Menormalisasi sama artinya dengan mengakui kedaulatan Israel.

Negara-negara yang bersepakat dengan Israel tentu saja memiliki kepentingan kuat dibarengi beberapa keuntungan. Deal yang banyak berlaku ialah akses penerbangan. Maskapai El Al milik Israel semakin leluasa melangit di Timur Tengah. Bahkan beberapa penerbangan melintasi wilayah Arab Saudi, yang hingga kini berpegang teguh pada Inisiatif Perdamaian Arab 2002. Sebuah pernyataan yang menolak mengakui kedaulatan Israel sampai Israel mengakhiri kependudukan ditanah Palestina. Para analis terus memantau pergerakan Arab Saudi dalam konstelasi geopolitik Timur Tengah yang semakin dieksplorasi Israel dan sekutunya AS.

Mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dalam satu diskusi mengenai peran Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina, mengatakan jika ingin menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel, maka sedianya Indonesia tidak saja memiliki hubungan dengan Palestina, tetapi juga dengan Israel. Apakah ini menjadi indikasi Indonesia tengah menjajaki normalisasi dengan Israel? Bisa jadi, meski rasanya sulit teralisasi.

Awalnya saya juga tidak yakin atas langkah Turki menormalisasi hubungan dengan Israel. Peran Turki baru-baru ini sebagai tuan rumah Islamic Solidarity Games ke-5 yang bertujuan meningkatkan persaudaraan dan solidaritas dari wilayah Islam, jadi terasa kurang bernilai. Begitupun semoga Turki benar memegang kata-katanya, bahwa normalisasi yang dilakukan dengan Israel merupakan bagian dari rencana sepak terjang diplomasinya.

*Muhammad Husein Heikal, Analis Economic Action Indonesia dan Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan. Studi sarjana selesai dari Universitas Sumatera Utara dan short-course Universitas Gadjah Mada. Menulis untuk beberapa media nasional, seperti Kompas, Koran Tempo, Horison, Republika, The Jakarta Post, Media Indonesia, Investor Daily, Utusan Malaysia, Detik.com dan Alinea.id. Baru saja menerbitkan buku kumpulan opininya berjudul Manusia Serakah (2022). Kini menetap di Bandung dan menempuh studi magister di Universitas Padjadjaran.

--

--