Menjelang Tengah Malam

Muhammad Husein Heikal
5 min readOct 7, 2021
Photo by Jonas Smith on Unsplash

“Kita seperti kehabisan rencana hidup.”

“Apalagi yang harus saya lakukan?”

“Kita butuh kegiatan, komunitas.”

“Pacar saya sudah sibuk. Tak peduli pada saya.”

“Saya malah tak punya pacar.”

“Lebih baik begitu.”

“Menurutmu lebih baik.”

“Kesendirian tak selamanya baik.”

“Beruntung saya punya teman sepertimu.”

“Maksudnya?”

“Kalau saya berteman dengan orang yang tak punya pacar juga, huh!”

“Kenapa?”

“Saya bisa begini terus. Tak ada yang bisa mengajari.”

“Soal pacar?”

“Tentu.”

“Saya tak menyangka kau ingin punya pacar. Saya melihat kau nyaman sendiri.”

“Ada seorang perempuan yang menyukai saya. Tapi saya tak menyukainya. Saya justru menyukai perempuan lain, yang tak menyukai saya.”

“Itu rumit.”

“Rumit sekali.”

“Apa yang kau lakukan?”

“Apa? Aku justru tak mendapatkan satupun!”

“Kau harus menghubungi perempuan yang kau sukai.”

“Saya tak mampu.”

“Apa yang kau takutkan?”

“Saya khawatir dia tak menerima saya.”

“Tak penting. Yang penting apa yang kau lakukan. Coba saja.”

“Entahlah.”

“Kau mesti berani. Telepon dia, lalu ajak ketemu, dan bawa jalan-jalan.”

“Saya ragu dia masih mengingat saya.”

“Tak ada salahnya mencoba.”

“Saya trauma. Saya beberapa kali ditolak. Kau tahu kan, bagaimana kisah asmaraku yang terakhir. Tak sampai 24 jam.”

“Masa lalu tak melulu jadi cerminan masa depan.”

“Tapi saya masih trauma.”

“Saya juga trauma.”

“Trauma apa? Selama SMA kau tak pernah punya kekasih.”

“Kau mengejekku, ya?”

“Itu kenyataan yang semua tahu.”

“Benar, tapi kau tak perlu mengulangnya.”

“Saya cuma mengatakan.”

“Saya menyesal selama SMA tak punya hubungan.”

“Sudah berlalu. Kini kau kan punya pacar.”

Samudera langit segelap nasib diatas mereka yang persis duduk ditengah lapangan. Orang-orang tak begitu ramai. Arah tenggara dua perempuan berambut pendek duduk bercanda, berfoto ria. Di depan mereka dua pesepeda BMX beratraksi. Arah kiri sekumpulan keluarga, sepertinya dari luar kota, bersuara seperti dengungan lebah. Tak ada yang menarik di lapangan ini sama-sekali. Lapangan yang mulai dikelilingi gedung-gedung tinggi. Cahayanya lumayan indah. Tapi tak cukup mempesona. Apalagi buat mereka yang kehabisan rencana hidup.

“Selesaikanlah skripsimu.”

“Senin aku ke perpustakaan. Sama teman kampus. Setelah itu mengurus surat, entah surat apa, yang jelas isinya agar saya tak dikeluarkan tahun depan.”

“Kau sudah semester 12.”

“Begitulah.”

“Kau sudah terlalu lama. Tapi, toh tak ada bedanya, kan…kita?”

“Setidaknya kau sudah beres.”

“Ya tapi masih tak bekerja. Kan sama saja.”

“Saya sebenarnya tak perlu ijazah.”

“Manatau suatu hari kau perlu.”

“Selepas tamat, aku mesti balik ke kota T. Menjalankan bisnis gas ayah saya.”

“Oya, adik perempuanmu kos dimana?”

“Dia sudah berhenti.”

“Loh, kenapa?”

“Tak sanggup katanya.”

“Masa begitu. Sudah sempat kuliah kan?”

“Sudah, belum satu bulan. Berhenti. Pulang ke rumah.”

“Apa kegiatannya di rumah?”

“Tak ada.”

“Seharusnya kau jelaskan semester satu itu memang berat. Semester selanjutnya sudah tak begitu.”

“Terserah dia saja.”

“Mengherankan ya? Kita berjuang kuliah, mati-matian untuk tamat. Mereka mudah saja. Berhenti. Beres. Tak masalah.”

“Itulah.”

“Kita sudah tua ya.”

“Tak terasa. Besok sudah Sabtu saja.”

“Saya sudah 24.”

“Saya merasa malas bergaya lagi.”

“Saya juga begitu. Saya pikir siapa yang mau melihat saya.”

“Buat apa melakukan hal untuk menyenangkan orang lain, kan?”

“Santai saja. Tampil apa adanya.”

“Lihatlah saya botak. Ibu saya yang memangkas.”

“Saya juga merasa demikian. Entah orang menganggap saya seperti ulat bulu.”

“Dua ulat bulu!”

Mereka menertawakan diri sendiri. Tak ada yang salah. Benar dan salah sudah tak punya batas di masa kini. Mereka tahu hidup mereka berisi sekumpulan rencana yang sebagian besar akan berakhir dengan kegagalan. Hari demi hari yang dilalui cuma untuk sekadar hidup. Mereka tak perlu eksis. Mereka seperti tak terlihat. Bahkan ketika mereka melintas tepat di bawah cahaya atau ketika mereka menyeberang jalan. Mereka mencoba membunuh kekhawatiran-kekhawatiran soal masa depan: karir, pasangan, rumah, mobil, studi lanjut, liburan ke luar negeri. Mereka mencoba merendam semuanya ke dalam benak terdalam agar terlupakan dan tak muncul-muncul lagi.

“Saya ingin pacar baru.”

“Kau ingin yang baru, sementara saya belum punya seorangpun.”

“Saya sudah menasehatimu.”

“Itu tak cukup.”

“Harus bagaimana lagi? Saya yang menelpon mereka?”

“Nanti dia justru suka denganmu.”

“Nah.”

“Saya mendukungmu.”

“Kita tak berduit.”

“Itu masalahnya.”

“Itu harusnya membuat kita sadar untuk mundur. Saingan kita bukan main-main.”

“Mengerikan sekarang.”

“Pasangan jadi soal uang.”

“Kita tak jelek-jelek amat.”

“Sekarang materi jadi syarat pasangan.”

“Keparat betul.”

“Kita tak bekerja pula.”

“Saya hendak menyalahkan siapa?”

“Cari saja siapa yang pantas.”

“Sayangnya tak ada.”

“Ini saja kau belum makan malam.”

“Saya biasa terlambat makan.”

“Nanti kau sakit.”

“Ah, tak mengapa.”

“Itu jual jagung bakar, kan?”

“Kalau lima ribu saya mau beli.”

“Belum ada yang beli.”

“Kita datangi saja.”

Tapi mereka tak juga bergerak. Tiga perempuan remaja kini duduk searah penjual jagung bakar. Sama seperti dua perempuan sebelumnya, mereka bercanda dan berfoto-foto ria. Apa semua perempuan memang demikian, ya. Apa mereka tak merisaukan hidup selayaknya yang mereka bicarakan. Barangkali hidup cuma kesenangan-kesenangan belaka bagi mereka. Tapi perempuan sering mengeluh kan? Apalagi di dunia maya. Mereka yang senantiasa mengeluh, termasuk mengeluhkan soal lelaki. Kenyataan dan yang terjadi dibelakang layar memang kontras sekali kini. Yang ditampilkan kebohongan belaka. Nyatanya kita semua, atau hampir semua menderita dalam kehidupan.

“Jam berapa?”

“Bateraiku habis.”

“Kau mau pulang?”

“Sebentar lagi.”

“Nanti angkotmu habis.”

“Tenang saja, saya bisa berjalan kaki.”

“Itu bukan jarak yang dekat.”

“Kita naik bus gratis tadi lagi?”

“Terserah saja.”

“Nanti kau pusing lagi.”

“Kita lihat saja.”

“Sepertinya jam segini sudah sunyi.”

“Mungkin.”

“Kalau naik angkot berapa, lima ribu?”

“Ke simpang rumahmu tiga ribu saja.”

“Satu arah dengan rumahmu?”

“Tentu.”

“Kalau begitu angkot sajalah.”

“Baik.”

“Jagungnya bagaimana?”

“Mari kita lihat.”

Mereka berjalan pelan melintas di depan penjual jagung dan mendengar suara cempreng, “Ada yang nawar lima belas ribu dua, kasi tidak?” Lalu terdengar jawaban bersuara berat, “Kasi ajalah.” Mereka berdua jadi ragu. Apalagi penjualnya tampak brengsek. Mereka tak bersuara. Tapi tetap melangkah.

“Mau tidak?”

“Kita pulang sajalah.”

“Tak bisa lewat sini.”

“Mutar?”

“Tidak. Kita lewat jalan masuk tadi.”

“Jalan becek.”

“Mau bagaimana lagi?”

“Tengok! Ramai yang menanti bus gratis itu.”

“Warga tengah gembira.”

“Namanya gratis.”

“Kita pun ikutan latah naik.”

“Setelah bolak-balik.”

“Itu salah saya.”

“Kita yang salah.”

“Seperti orang tak punya kerjaan.”

“Kita memang tak punya kerjaan.”

“Ke kiri sedikit.”

“Menyeberang disini sulit. Tidak semua orang bisa.”

“Mereka sudah cemas pasti. Entah itu bus terakhir.”

“Harusnya dinaikkan saja semua.”

“Toh sudah malam.”

“Namanya bus pemerintah.”

“Harus patuhi protokol. Tak ingat kita disenggak karena luput pakai masker?”

“Supirnya pemarah.”

“Yang pertama tidak.”

“Yang terakhir juga.”

“Yang terakhir itu kan supir yang pertama juga.”

“Ah, masa?”

“Iya.”

“Untung kita turun.”

“Untung kita ke pool-nya. Kalau tidak mati berdiri kita antri dengan ibu-ibu.”

“Nah, itu dia angkotnya.”

“Kau yakin?”

“Tentu.”

“Coba tanya dulu.”

“Tak perlu.”

“Kau duit berapa?”

“Lima ribu.”

“Nanti tunggu balikannya.”

“Sudahlah.”

“Kadang saya heran orang-orang terlalu pelit kalau naik angkot.”

“Kau menyindir saya?”

“Bukan.”

“Saya bilang orang-orang.”

“Padahal saat makan di mall bisa mahal-mahal.”

“Kasihan supir angkot. Apalagi gara-gara bus gratis.”

“Rezeki kan masing-masing.”

“Kenapa tak demo ya?”

“Sudah diamankan mungkin.”

“Loh, sudah mau sampai saja.”

“Namanya angkot, ngebut.”

“Saya turun duluan.”

“Jangan lupa minta balikannya.”

Medan, Akhir November 2020

MH Heikal, lahir di Medan, 1997. Menulis untuk sejumlah media, seperti Republika, Kompas, Koran Tempo, Horison, Utusan Malaysia, The Jakarta Post, Media Indonesia, Azahar Revista Poetica serta terangkum berbagai buku antologi. Bisa disapa via Instagram @huseinheikal

--

--