Mengasing Secara Sengaja

Muhammad Husein Heikal
4 min readApr 26, 2020

Pada akhir tahun lalu saya menonton empat film asing, yaitu Roma, Parasite, Never Look Away, dan Potrait of a Lady on Fire. Poin utama dari keempat film tersebut berhasil mematahkan persepsi saya — dan barangkali sebagian besar penikmat film — bahwa film yang tidak diproduksi label besar nyatanya bisa punya kualitas mumpuni.

Tak perlu menyangkal bila selama ini kita “disesaki” sekaligus “diracuni” film besutan Amerika lewat merek besar Hollywood. “Disesaki” dalam artian film-film Amerika merajai jadwal bioskop membuat kita merasa perlu ambil bagian menontonnya. Memang sebagian besar film Amerika “bagus” — tentu dalam persepsi yang berbeda-beda: barangkali dari segi tema, teknik pengambilan gambar, suara latar atau efek digital. Sementara “diracuni” pada persepsi saya ialah perihal ketidaklogisan yang lama-kelamaan terangkai menjadi hal mutlak yang seolah benar-benar nyata.

Berangkat dari kedua alasan itu saya memutuskan untuk mengurangi konsumsi film Hollywood dan beralih kepada sesuatu yang asing dan belum saya kenal. Saya menduga tentu menyenangkan sekali mengenal suatu hal yang selama ini asing. Tapi ternyata setelah dikenali menjadi akrab dan menyenangkan. Begitu yang saya rasakan ketika menonton film asing yang saya sebutkan diatas.

Keempat film itu berasal dari negara berbeda. Roma dari Meksiko, Never Look Away dari Jerman, Potrait of a Lady on Fire dari Prancis dan Parasite dari Korea Selatan. Walau asalnya berbeda namun keberuntungannya terlihat mirip. Roma dan Never Look Away sama-sama menjadi nominee di ajang Academy Award kategori Best Feature International Film (dulu Best Foreign International Film) 2019. Roma keluar sebagai pemenang.

Parasite ditahun 2020 ini mampu menggaet empat piala Oscar termasuk kategori utama Best Picture dan Best Feature. Sementara Potrait of a Lady on Fire meski tak berkecimpung dalam Academy Award berhasil meraih enam penghargaan ternama dari Eropa dan Amerika. Intinya keempat film ini merupakan film yang berdaya untuk bersaing dan mampu menggaet anugrah bergengsi.

Roma (2018) adalah film hitam-putih besutan Alfonso Cuaron. Film yang menggambarkan seorang pembantu rumah tangga (maid) bernama Cleo. Kisah yang dituturkan film ini sederhana sekali, tak ada yang mengejutkan dan jauh dari “ledakan”. Selama durasinya film ini mengalir perlahan dan santai. Efek suara yang digunakan juga lembut dan mengalun. Namun dibalik itu semua ada pesan kemanusiaan yang kuat dalam film ini. Tentang ketegaran manusia menghadapi berbagai ujian dan cobaan kehidupan, dilukiskan dengan cara yang amat menyentuh.

Never Look Away (2018) adalah film original Jerman: sutradara orang Jerman, berbahasa Jerman, latar cerita, para pemain, musik segalanya serba Jerman. Film ini bisa menyerap waktu selama tiga jam. Dari sekian banyak hal yang ingin diungkap, sang sutradara berhasil merangkum film ini dalam durasi tiga jam. Itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Tiga jam adalah waktu amat banyak bagi penonton Youtube, namun sedikit bagi pembuat film. Saya meminta Anda agar percaya, tiga jam yang Anda gunakan untuk menonton film ini tidak akan sia-sia.

Film ini berlatar Nazi. Bagi sebagian orang membahas Nazi adalah perkara membosankan. Tapi ternyata, bagi rakyat Jerman, Nazi adalah satu serpihan sejarah yang tak boleh dilupakan. Sejarah Nazi harus terus diingat, dituliskan, termasuk difilmkan. Sikap seperti ini tentu bukan sekadar menjadi pencatat peradaban, melainkan sebagai bentuk pelajaran terhadap generasi selanjutnya bahwa “darah pernah tumpah di tanah ini” dan “perjuangan bukanlah sekadar ocehan omong kosong”.

Potrait of a Lady on Fire (2019) adalah film buatan Prancis. Sebagai penonton saya mengagumi totalitas yang ditampilkan Adèle Haenel (Héloïse) dan Noémie Merlant (Marianne) dalam film ini. Sebagai lelaki saya mengagumi kecantikan dan keanggunan wanita Prancis sebagaimana ditampilkan mereka. Sedari awal saya menduga film ini bakal berakhir tragis. Ternyata benar adanya.

Sejak pembuka film ini sudah cukup menarik perhatian. Kalimat yang menjadi judul film ini bahkan didesahkan di menit kedua. Ini menjadi semacam intro yang berhasil memancing penasaran audiens. Asyiknya lagi, rasa penasaran itu semakin berkembang seiring pertambahan waktu film ini. Harus saya akui, saya amat menikmati film-film seperti Potrait of a Lady on Fire. Film yang tidak tergesa-gesa, menampilkan perpindahan adegan secara lembut, dialog yang sedikit tapi jelas dan bermakna, serta efek pencahayaan yang cermat.

Durasi dua jam film ini terasa berlangsung hanya dua menit. Sangking menikmatinya, kita seolah ikut terserap dalam keteraturan cerita yang di rangkai sang sutradara. Besar harapan saya, untuk selanjutnya saya bisa menyantap film-film seperti ini.

Terakhir, Parasite (2019). Film ini dibuat oleh Bong Joon-ho, sutradara yang kritis terhadap isu-isu sosial. Memories of Murder (2003) dan Okja (2017) adalah dua film yang tak boleh dilupakan dalam karir Joon-ho. Parasite berkisah tentang dua keluarga yang berbeda kelas sosial. Keluarga Park (Lee Sun Gyun) keluarga yang kaya, sementara Kim (Kang-Ha Song) keluarga miskin. Keluarga miskin ini satu demi satu berupaya memasuki dan “mencicipi” kekayaan keluarga Park. Berbagai trik dan motif digunakan, hingga akhirnya seluruh anggota keluarga Kim berhasil “menyantap” hidup di rumah mewah milik Park.

Tapi rupa-rupanya nasib punya kejutan. Peristiwa yang tak disangka hadir. Ruang bawah tanah di rumah keluarga Park ternyata dihuni seorang lelaki pelarian yang terbelit utang. Istri lelaki tersebut tak lain adalah pembantu setia keluarga Park selama ini, sebelum ia didepak dengan cara halus dan digantikan salah satu keluarga Kim.

Ending film ini mengerikan. Pisau dan darah berkelebat hingga berujung kematian. Ironi ditampilkan Parasite. Ironi yang berujung pada pertanyaan, siapakah sebenarnya yang menjadi parasit disebuah siklus kehidupan ini? Apakah orang kaya, orang miskin, atau orang pelarian yang tersingkir dari kehidupan. Film ini tak gamblang menjawab. Namun memberi kesempatan pada audiens untuk menilai dan menjawab sendiri.

Pada akhirnya, keempat film asing ini, bagi saya tak sekadar sebagai pelepas dahaga atas keinginan saya menjerumuskan diri dalam ranah asing. Keempat film ini memberi saya makna yang begitu mendalam perihal nasib dan takdir dalam guliran kehidupan. Kedepannya saya tak jera dan akan terus mencoba mengasingkan diri kepada hal yang benar-benar belum saya kenal sama-sekali. Semoga saya bisa kembali keluar dari segala rupa keasingan, tetap menjadi diri saya sendiri, namun dengan isi kepala yang berbeda.

*Muhammad Husein Heikal, penulis cerita dan esai

--

--