Kekuasaan yang Mengubah Jokowi

Muhammad Husein Heikal
4 min readJan 23, 2021
Source: alinea.id

Kekuasaan mengubah Jokowi: dari seorang pembuat furnitur menjadi pemimpin yang ambisius, tertarik untuk menyelesaikan sesuatu, tetapi tidak tertarik untuk mengambil nasihat ahli atau menilik data terperinci. Ambisinya menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045 jauh dari realita. Ide membangun ibukota baru di Kalimantan sekadar rencana tanpa perhitungan apalagi anggaran memadai. Jokowi hobi membangun apa yang bersifat fisik, seperti jalan tol, transportasi metro, pembangkit listrik, dan melupakan pembangunan mental. Padahal Revolusi Mental menjadi slogan yang digaungkan semasa kampanye.

Jokowi bakal diingat sebagai Bapak Infrastruktur, tapi jangan salah, Jokowi juga berkemungkinan bakal dikenal sebagai Bapak Pengutang. Demi menunaikan pembangunan infrastruktur sebagian besar dibiayai utang. Ini tak menjadi tanggungan Jokowi. Ini jadi tanggungan kita, rakyat sampai ke anak cucu. Jokowi, beberapa tahun lagi, 2024 habis masa jabatannya, bisa berselonjor di rumah musim panas tanpa punya beban apa-apa. Sepuluh tahun masa jabatannya sebagai presiden usai, yang artinya ia bebas dari segala keterikatan yang menyangkut permasalahan Indonesia.

Rakyat ditinggalkan dengan beban utang mencapai Rp 6.000 triliun. Angka ini hampir tiga kali lipat dari anggaran belanja negara 270 juta rakyat Republik Indonesia. Dan apa yang sebenarnya dinikmati rakyat dari pembangunan infrastruktur Jokowi? Kalangan menengah atas yang melintasi jalan tol, gedung-gedung dan kantor megah yang sudah tentu tak bakal bisa dimasuki rakyat kecil. Padahal rakyat kecil jumlahnya mendominasi Indonesia.

Pada periode pertama, Jokowi masih mampu menyeimbangkan “sampan kekuasaannya” agar tetap terlihat berada di jalur yang tepat. Jokowi berubah saat dia mencari suara dalam pemilihan berikutnya. Di kampanye periode kedua, rival beratnya Prabowo Subianto membuat Jokowi memerlukan modal material dan modal politik yang kuat. Begitu menang, Jokowi menarik lawannya yang kalah sebagai “pengawalnya” menempati posisi Menteri Pertahanan.

Di masa jabatan kedua, Jokowi ditantang Covid-19. Dalam menangani bencana alam dan krisis lainnya Indonesia memang terkenal lemah. Ini kian terbukti lewat pandemi Covid-19. Daripada menjawab tantangan, Jokowi bimbang antara mengambil tindakan mitigasi yang diperlukan atau menyarankan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dari awal banyak yang mencurigai apa benar Indonesia belum terinfeksi Covid-19, namun sekarang sedikitnya 2% dari infeksi virus korona di Indonesia telah dilaporkan.

Dalam terpaan pandemi, The Economist mencatat pemerintahan Jokowi mengambil momentum mencabut kemerdekaan badan anti-korupsi, mensterilkan mahkamah konstitusi, menggunakan polisi mengincar para pengkritik dan penghina presiden. Jokowi juga memperluas pengaruh militer dengan mengorbankan perempuan, minoritas dan kebebasan sipil. Ini adalah serangan terbesar terhadap lembaga-lembaga independen sejak masa Soeharto, orang kuat yang memerintah Indonesia dari tahun 1967 hingga 1998.

Disahkannya Omnibus Law yang sejak awal kontroversial, berhasil memicu kemarahan kaum pekerja, yang tampaknya lebih banyak dirugikan dari kehadiran undang-undang tersebut. Secara sepintas lalu, Omnibus Law merupakan upaya untuk mempermudah bisnis sekaligus mendorong investasi. Ini kontradiksi yang tak dijelaskan kebenarannya. Prinsip liberal ekonomi, investasi asing yang masuk bakal membuka lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja. Ini terlihat baik. Namun dibalik itu, yang disesalkan rakyat ialah banyaknya aturan yang justru mengangkangi hak-hak kaum pekerja.

Pada situasi melonjaknya jumlah angkatan kerja pemuda, yang disebut sebagai bonus demografi, Indonesia justru tak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Perekonomian Indonesia mandek di pertumbuhan 5%, yang akibat pandemi akan lebih merosot lebih dalam lagi. Indonesia benar-benar menyia-nyiakan peluang menggenjot ekonominya dengan tidak menciptakan lapangan kerja yang cukup.

Dalam buku teranyar Man of Contradictions (2020) yang membahas Indonesia dan Jokowi sebagai subjek utama karya Ben Bland, mengatakan kebangkitan Jokowi ke kursi kepresidenan Indonesia adalah bukti demokrasi negara, pemilu yang bebas dan adil. Namun, di bawah pemerintahan Jokowi, telah terjadi kemerosotan yang meresahkan dalam tata kelola demokrasi Indonesia. Bland menyoroti banyak tindakan Jokowi yang telah merusak demokrasi Indonesia yang memang sudah cacat.

Pada kondisi semacam ini negara dengan populasi terbesar keempat di dunia terpaksa menerima nasibnya dibawah kepemimpinan Jokowi. Indonesia perlu strategi yang lebih koheren untuk kembali ke arus demokrasi yang benar, mengembalikan arah perekonomian ke jalur yang tepat. Rakyat tak bisa berharap banyak. Protes dan demo yang digemakan rakyat tak dihiraukan, dianggap desau angin yang lekas lalu.

Empat tahun lagi Indonesia akan tetap seperti ini. Sampai Jokowi, sang pembuat furnitur menjadi pemimpin yang ambisius, selesai dari jabatannya dan akan jarang muncul. Indonesia, sebagaimana nasibnya, digerakkan oleh kekuatan baru lagi. Kekuatan yang barangkali menguatkan atau justru melemahkan Indonesia dari dalam. Mungkin benarlah apa yang diujarkan Chatib Basri, bahwa Indonesia selalu mengecewakan. Indonesia mengecewakan orang optimis dan juga mengecewakan orang pesimis.

Instagram: huseinheikal

*Muhammad Husein Heikal, Analis Economic Action (EconAct) Indonesia dan Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan. Menulis untuk Investor Daily, Republika, Horison, Kompas, Utusan Malaysia, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, Alinea.id, Detik.com, dan lainnya.

--

--